Konflik lahan yang berkepanjangan antara warga Pedamaran dan sebuah perusahaan perkebunan semakin memanas. Warga mengklaim bahwa lahan yang digarap oleh perusahaan tersebut adalah milik mereka secara sah, namun perusahaan bertindak agresif tanpa menyelesaikan masalah legalitas dan ganti rugi.
Salah satu perwakilan warga, Juniadi, memiliki sertifikat kepemilikan lahan seluas sekitar 500 hektare yang dikeluarkan oleh PERSIRAH pada tahun 1997. Dalam sebuah pernyataan, ia menyuarakan rasa kecewa dan kebingungan tentang situasi yang dihadapinya. “Mengapa tanah kami tidak boleh kami masuki?” tanyanya lirih, mencerminkan ketidakadilan yang dialaminya bersama warga lainnya.
Persoalan Legalitas dan Respon Masyarakat
Tindakan perusahaan yang terus menggarap lahan memicu reaksi keras dari masyarakat. Warga merasa bahwa tindakan tersebut semakin provokatif setiap harinya, bahkan melibatkan aparat penegak hukum yang menambah kecemasan di tengah mereka. Ketidakadilan ini telah memicu rasa ketidakpuasan yang mendalam di kalangan warga yang merasa terpinggirkan.
Seorang petugas keamanan di perusahaan mengungkapkan ketidakpahamannya, “Aku dak tau, pak. Itu kata Brimob suruh keluar mereka.” Pernyataan ini hanya menambah kecurigaan warga tentang adanya kolusi antara perusahaan dan aparat berwenang. Kesaksian lain dari Baba Pangestu, seorang pemilik lahan, semakin menguatkan dugaan ini. Ia mengingat ucapan seorang mandor perusahaan yang seolah menegaskan bahwa perusahaan mengutamakan kepentingan bisnis di atas hak masyarakat.
Tindakan dan Harapan untuk Penyelesaian
Pemerintah sebelumnya berjanji akan memanggil kedua pihak untuk mencari solusi damai, namun banyak warga dan aktivis yang merasa langkah tersebut tidak cukup. Mereka mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih konkret dan transparan. Yovi Meitaha, seorang koordinator dari organisasi pemuda setempat, menegaskan pentingnya investigasi mendalam mengenai dugaan keterlibatan aparat dalam konflik ini. “Sengketa ini bukan sekadar masalah lahan, ini sebuah perampokan hak rakyat,” tegasnya.
Yovi juga menjelaskan bahwa masalah ketidakjelasan kepemilikan lahan telah berlangsung selama puluhan tahun, menjadikan hal tersebut sebagai akar permasalahan yang harus segera diselesaikan. Ia meminta pemerintah untuk bertindak tegas demi keadilan masyarakat, “Jangan biarkan rakyat terus menjadi korban,” luihnya. Keengganan perusahaan untuk memberikan klarifikasi publik hanya memperkuat dugaan bahwa ada pelanggaran serius dalam pengelolaan lahan yang terjadi saat ini.
Konflik ini menyoroti pentingnya reformasi agraria dan penegakan hukum yang adil, serta mengingatkan semua pihak yang terlibat akan tanggung jawabnya dalam memastikan keadilan bagi masyarakat yang terpinggirkan. Tindakan tegas dari pemerintah dan transparansi di semua sisi akan menjadi kunci penyelesaian konflik lahan yang berkepanjangan ini.