www.pantauindonesia.id – Sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) adalah masalah yang terus berulang. Sering kali, tumpang tindih perizinan Hak Guna Usaha (HGU) dengan lahan milik warga menjadi penyebab utama konflik ini.
Dalam situasi semacam ini, perusahaan sering beroperasi dengan mengklaim lahan yang sebetulnya masih menjadi milik masyarakat. Masyarakat merasa terpinggirkan, karena belum mendapatkan kompensasi yang layak untuk lahan yang mereka miliki.
Akhir-akhir ini, konflik ini muncul kembali di Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran. Di sini, warga merasa terhalang dalam mengolah tanah yang mereka miliki karena seluruh wilayah sudah diklaim sebagai area HGU oleh perusahaan.
Padahal, banyak dari lahan tersebut adalah hak milik masyarakat yang belum pernah dibayar ganti rugi. Salah seorang warga menyatakan ketidakpuasan mereka, mengatakan bahwa proses penyelesaian masalah ini selalu berujung pada jalur hukum yang sangat lama.
Dalam hal ini, banyak yang berharap pemerintah daerah bisa mengambil langkah tegas untuk melindungi hak masyarakat. Namun, kenyataannya saat ini mereka lebih berperan sebagai fasilitator pengaduan tanpa tindakan konkret yang dapat memberikan keadilan bagi warga.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, bahkan melalui citra satelit, jelas terlihat bahwa hampir seluruh wilayah Desa Cinta Jaya telah berstatus HGU. Hal ini menciptakan kesulitan besar bagi masyarakat untuk mengelola tanah mereka sendiri, dan perusahaan pun enggan memberikan klarifikasi mengenai status lahan yang disengketakan.
Menyikapi masalah ini, M. Salim Kosim, seorang Pengamat Kebijakan Publik dan Ketua Pusat Riset Kebijakan dan Pelayanan Masyarakat, mengungkapkan bahwa ada kemungkinan untuk membatalkan HGU perusahaan jika terbukti ada lahan yang belum dibebaskan. Ia menegaskan bahwa undang-undang memberikan dasar hukum untuk pembatalan tersebut.
Salim menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mewajibkan pemegang HGU untuk memberikan kompensasi kepada pemilik lahan yang terkena dampak. Jika ini tidak dilakukan, maka hak eksklusif HGU tersebut dapat dibatalkan.
Selain itu, ia mengacu pada Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021 yang menekankan pentingnya penyelesaian masalah pertanahan sebelum perusahaan beroperasi. Ini menunjukkan bahwa perusahaan harus mematuhi aturan yang ada demi keadilan bagi masyarakat yang kehilangan tanahnya.
Prinsip keadilan dan hak asasi manusia seharusnya menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa ini. Masyarakat berhak mendapatkan ganti rugi yang adil dan layak atas tanah mereka yang hilang. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban ini dapat berujung pada pembatalan HGU dan pengembalian lahan kepada negara untuk kemudian diberikan kepada rakyat.
Salim menjelaskan bahwa proses pembatalan biasanya dimulai dari pengaduan masyarakat yang kemudian diverifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika ada pelanggaran yang terbukti, pembatalan HGU akan dilakukan.
Melihat Dampak Sosial dan Ekonomi dari Sengketa Ini
Krisis tanah ini tidak hanya berdampak pada hak kepemilikan. Dampaknya juga sangat luas bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Ketidakpastian terkait status lahan membuat warga sulit merencanakan kehidupan mereka ke depan.
Komunitas yang terjebak dalam situasi ini sering kali terpaksa beralih ke pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini tentunya akan mengubah dinamika sosial di daerah tersebut, yang sebelumnya bergantung pada pertanian.
Selain itu, keadaan ini juga mengancam keberlangsungan usaha kecil yang dijalankan oleh masyarakat. Dengan terpaksanya mereka meninggalkan lahan, banyak toko dan usaha lokal mengalami penurunan pendapatan.
Penting untuk menciptakan dialog antara perusahaan dan masyarakat untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, perusahaan perlu menyadari tanggung jawab sosialnya untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat.
Tanpa adanya kesatuan visi antara pihak perusahaan dan masyarakat, konflik ini akan berlanjut, memicu ketegangan yang lebih besar dan berdampak negatif pada semua pihak. Pemangku kebijakan harus mengedepankan keadilan dalam setiap keputusan agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Peran Pemerintah dalam Menangani Sengketa Lahan
Pemerintah daerah dan pusat memiliki peran kunci dalam menyelesaikan sengketa lahan ini. Mereka harus mengedepankan independensi dan keberpihakan pada masyarakat yang mengalami penindasan hak atas tanahnya. Keterlibatan aktif pemerintah sangat diperlukan untuk memfasilitasi dialog dan mencari solusi yang adil.
Banyak yang berpendapat bahwa pemerintah seharusnya lebih berani dalam menghadapi perusahaan besar yang memiliki kekuatan finansial. Hanya dengan mengedepankan kepentingan rakyat, masalah ini dapat diselesaikan secara efektif.
Implementasi hukum yang tegas juga harus menjadi fokus perhatian pemerintah. Tanpa ada sanksi yang jelas bagi perusahaan yang melanggar aturan, sulit untuk menciptakan iklim investasi yang sehat. Pengawasan yang ketat akan menjadi faktor penentu dalam menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.
Selain itu, sosialisasi mengenai hukum dan hak-hak masyarakat terkait lahan perlu ditingkatkan. Edukasi kepada masyarakat diharapkan dapat memperkuat posisi tawar mereka dalam negosiasi dengan perusahaan.
Sangat penting bagi masyarakat untuk memahami hak-hak mereka agar tidak terus menerus menjadi korban dalam konflik lahan ini. Dengan pengetahuan yang memadai, mereka akan lebih siap untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada.
Upaya Masyarakat Dalam Mempertahankan Hak Atas Tanah
Masyarakat di Desa Cinta Jaya telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan hak atas tanah mereka. Mereka melakukan pengorganisasian diri untuk memperkuat suara dan posisi mereka dalam konflik dengan perusahaan. Melalui kelompok-kelompok ini, mereka berbagi pengalaman dan strategi untuk menghadapi masalah yang ada.
Salah satu bentuk upaya yang dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan hukum. Mereka berharap bisa mendapatkan pengakuan atas hak-hak milik mereka. Namun, proses ini tidak jarang memakan waktu yang lama dan biaya yang tinggi.
Masyarakat juga berusaha menggandeng organisasi masyarakat sipil untuk membantu memperjuangkan hak mereka. Dukungan dari luar sangat penting untuk memberikan advokasi dan memfasilitasi dialog dengan pihak perusahaan.
Di samping itu, kampanye peningkatan kesadaran publik juga merupakan salah satu alternatif yang dilakukan. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian media dan publik terhadap isu yang mereka hadapi, sehingga bisa mendesak pemerintah untuk bertindak lebih cepat.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ingin berdiam diri. Mereka ingin memperjuangkan hak-hak mereka dengan cara yang damai, meskipun situasinya sulit.